Thursday, April 2, 2015

Karakteristik Superkonduktor YBa2Cu3O7

Oleh Siti Nurrohmah

Perkembangan ilmu pengetahuan mendorong dunia industri untuk memanfaatkan temuan-temuan baru. Salah satu contohnya adalah perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang Fisika Zat Padat, khususnya dalam bidang superkonduktor. Banyak sekali temuan-temuan baru dalam bidang superkonduktor, baik secara teoritis maupun secara eksperimen. Begitu pula temuan mengenai berbagai bahan superkonduktor itu sediri banyak sekali macamnya.
Superkonduktor yang dimaksud disini adalah superkonduktor arus listrik. Jika kita mengelompokkan zat padat ditinjau dari daya hantar listrik, kita akan mengenal 5 kelompok zat padat, yaitu diurut dari daya hantar arus listrik mulai dari yang terjelek sampai terbaik sebagai berikut

  1. ·         isolator
  2. ·         semikonduktor
  3. ·         konduktor
  4. ·         konduktor bagus (good conductor)
  5. ·         superkonduktor



Perbedaan dan persamaan antara konduktor bagus dengan superkonduktor adalah dalam hal resistivitas (r) dan efek Meissner. Persamaannya adalah bahwa kedua kelompok bahan ini memiliki resistivitas nol (r = 0), sehingga nilai hambatan (R) listriknya pun nol. Perbedaannya adalah bahwa konduktor bagus tidak memiliki efek Meissner, sedangkan superkonduktor memiliki efek Meissner. yaitu suatu gejala dimana bahan superkonduktor dapat menolak (melawan) medan magnet luar, sehingga medan magnet luar tidak dapat menembus bahan superkonduktor. Atau dengan kata lain suseptibilitas magnetnya adalah bertanda negatif (bersifat diamagnetik).

Sifat Kelistrikan Superkonduktor
Bahan logam tersusun dari kisi-kisi dan basis serta elektron bebas. Ketika medan listrik diberikan pada bahan, elektron akan mendapat percepatan. Medan listrik akan menghamburkan elektron ke segala arah dan menumbuk atom-atom pada kisi. Hal ini menyebabkan adanya hambatan listrik pada logam konduktor. Pada bahan superkonduktor terjadi juga interaksi antara elektron dengan inti atom. Namun elektron dapat melewati inti tanpa mengalami hambatan dari atom kisi. Efek ini dapat dijelaskan oleh Teori BCS. Ketika elektron melewati kisi, inti yang bermuatan positif menarik elektron yang bermuatan negatif dan mengakibatkan elektron bergetar.
Jika ada dua buah elektron yang melewati kisi, elektron kedua akan mendekati elektron pertama karena gaya tarik dari inti atom-atom kisi lebih besar. Gaya ini melebihi gaya tolak-menolak antar elektron sehingga kedua elektron bergerak berpasangan. Pasangan ini disebut Cooper Pairs. Efek ini dapat dijelaskan dengan istilah Phonons. Ketika elektron pertama pada Cooper Pairs melewati inti atom kisi. Elektron yang mendekati inti atom kisi akan bergetar dan memancarkan Phonon. Sedangkan elektron lainnya menyerap Phonon. Pertukaran Phonon ini mengakibatkan gaya tarik menarik antar elektron. Pasangan elektron ini akan melalu kisi tanpa gangguan dengan kata lain tanpa hambatan.

Suhu dan Medan Magnet Kritis
Suhu kritis (Tc) adalah suhu yang membatasi antara sifat konduktor dan superkonduktor. Jika suhu suatu bahan dinaikan, maka getaran elektron akan bertambah sehingga banyak Phonons yang dipancarkan. Ketika mencapai suhu kritis tertentu, maka Phonons akan memecahkan Cooper Pairs dan bahan kembali ke keadaan normal. Contoh grafik Hambatan terhadap suhu pada bahan YBa2Cu3O7 sebagai berikut,

Gambar 1. Grafik hambatan terhadap suhu pada bahan YBa2Cu3O7
Medan magnet kritis adalah batas kuatnya medan magnet sehingga bahan superkonduktor memiliki medan magnet. Jika medan magnet yang diberikan pada bahan superkonduktor, maka bahan superkonduktor tak akan mengalami efek Meissner.

Gambar 2. Efek Meissner
Pada Gambar  (a) suhu bahan masih di atas suhu kritis superkonduktor, sehingga pada saat ini bahan ini belum menjadi superkonduktor dan medan magnet luar (yang ditunjukkan oleh anak panah ke atas) masih dapat menembus bahan itu. Sedangkan pada Gambar (b) bahan sudah menjadi superkonduktor (T < Tc ) sehingga medan megnet luar ditolak oleh superkonduktor itu. Tc adalah suhu kritis bahan untuk menjadi superkonduktor.
Salah satu suhu kritis (sering juga disebut titik kritis) tertinggi yang dapat dicapai dan stabil adalah 92 K, yaitu untuk bahan (sampel) yang terbuat dari bahan campuran Y2O3, BaCO3 , dan CuO sedemikian rupa sehingga menghasilkan sampel dengan komposisi YBa2Cu3O7-d dimana nilai d adalah antara 0 dan 0,5 atau 0 < d < 0,5 sehingga campuran itu dapat memiliki O sebanyak 6,5 sampai 7. Dan campuran terbaik adalah campuran yang memiliki nilai O sama dengan 7 atau d = 0, sehingga rumus kimianya adalah YBa2Cu3O7. Variasi nilai O ini sangat bergantung pada proses pembuatan sampel itu sendiri dan pada proses pemanasan ulang (annealling).
Proses pembuatan sampel YBa2Cu3O7-d dapat diterangkan sebagai berikut. Bahan Y2O3, BaCO3 , dan CuO dicampur dengan rasio mol sebagai berikut:
Y2O3 + 4 BaCO3 + 6 CuO à 2 YBa2Cu3O6,5 + 4 CO2
Campuran untuk sampel ini kemudian dimasukkan ke dalam cawan yang terbuat dari gelas quarsa (quartz) atau bahan alumina. Kemudian sampel itu dipanaskan secara perlahan-lahan (dalam udara bebas) dalam sebuah tungku sampai suhunya mencapai 920oC selama 18 jam. Proses pendinginan sampel di dalam tungku dilakukan secara pelan pula. Hasilnya adalah sebuah bahan yang berwarna hitam dan berupa keramik. Karena sampel yang diperoleh ini masih belum memiliki kandungan oksigen yang cukup (lihat persamaan kimia di atas), maka sampel ini kemudian dibentuk menjadi tablet dan dipanaskan ulang dalam aliran O2 sebanyak 0,006 liter/menit pada suhu 920oC selama 18 jam juga. Proses pemanasan ulang ini sering disebut proses annealling. Kemudian sampel itu didinginkan sampai suhu kamar dengan laju 50oC/jam.
Setelah itu sampel tersebut dibentuk menjadi balok dan selanjutnya ditempeli 4 buah terminal (probe) indium pada salah satu sisinya untuk pengukuran resistivitas. Selanjutnya ditempelkan empat buah kawat konduktor kepada keempat terminal itu dengan cara menyoldernya dengan menggunakan solder indium. Keempat kawat ini adalah sebagai sarana untuk mengalirakan arus listrik ke dalam sampel dan untuk mengukur beda potensial diantara ujung-ujung sampel. Selanjutnya, bagan rangkaian listrik untuk mengukur resistivitas sampel sebagai fungsi suhu dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Bagan rangkaian sederhana untuk mengukur resistivitas sampel superkonduktor

Salah satu cara untuk memahami fenomena superkonduktivas suatu bahan adalah dengan cara mempelajari struktur kristalnya. Dengan menggunakan berbagai teknik difraksi sinar-x oleh kristal, diketahui struktur YBa2Cu3O7 adalah ortorombik. Contoh struktur kristal untuk satu sel primitif dari YBa2Cu3O7 dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah. Pada Gambar 4 terdapat dua bidang CuO, yaitu bidang alas dan bidang atas. Dalam hal ini, jarak antara kedua bidang CuO ini adalah sama dengan panjang sumbu primitif c. Oleh karena itu, salah satu bidang CuO ini bukan milik sel primitif yang digambarkan ini. Dari Gambar 4 di bawah dapat dipahami bahwa jumlah atom dalam basis untuk struktur kristal ini adalah sebanyak 13 atom, yaitu 7 buah atom O, 3 buah atom Cu, 2 buah atom Ba, dan 1 buah atom Y. Hal ini sesuai dengan jumlah atom di dalam basis kristal superkonduktor YBa2Cu3O7, yaitu sebanyak 13 buah atom.

Gambar 4. Struktur Kristal YBa2Cu3O7

Apabila jumlah atom oksigen di dalam superkonduktor ini hanya sebanyak 6,5 (d = 0,5), maka sampel ini tidak memiliki sifat superkonduktivas, tetapi ia bahkan hanya bersifat sebagai semikonduktor, dan struktur kristalnya pun bukan ortorombik, tetapi tetragonal. Perbedaan antara struktur kristal ortorombik dengan tetragonal adalah terletak pada panjang sumbu-sumbu primitifnya, yaitu untuk ortorombik a ≠ b ≠ c, sedangkan tetragonal a = b ≠ c. Perbedaan ini timbul akibat adanya perbedaan kandungan oksigen. Jadi kandungan oksigen di dalam campuran ini sangat menentukan sifat superkondukti vitas listriknya.
Seperti terlihat pada Gambar 4 di atas, jumlah bidang CuO ada dua buah, yaitu bidang alas dan bidang atas. Pada saat suhu sampel ini tepat sama dengan atau sekitar suhu kritisnya, maka kedua bidang ini sangat bertanggung jawab atas proses superkonduktivitas. Artinya, superkonduktivitas hanya terjadi dalam bidang-bidang CuO saja dan hanya terjadi dalam arah sumbu-b saja. Tetapi pada saat suhu sampel jauh di bawah suhu kritisnya, superkonduktivitas terjadi dalam arah tiga dimensi. Biasanya para ahli peneliti akan sangat tertarik pada tingkah laku sampel pada saat suhunya disekitar suhu kritisnya, yaitu pada saat sampel berada pada fase transisi dari logam biasa menjadi logam superkonduktor. Dan mereka selalu mencoba memahami apa yang terjadi pada saat suatu sampel berubah dari fase konduktor biasa menjadi fase superkonduktor. Pengetahuan ini biasanya digunakan untuk mencari bahan baru yang lebih baik, misalnya dalam hal suhu kritisnya mereka akan berusaha mencari bahanyang memiliki suhu kritis yang lebih tinggi. Oleh karena itu, yang diperhatikan adalah pada tingkah laku sampel pada saat suhunya disekitar suhu kritisnya.
Jika bidang CuO digambarkan dalam dua dimensi, yaitu gambar 4 yang dilihat dari atas, maka akan memperoleh gambar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Bidang CuO dalam dua dimensi dari 21 buah sel primitif

Dapat dilihat bahwa pada struktur kristal ortorombik, bidang CuO hanya memiliki oksigen dalam arah sumbu b saja. Dan dalam arah sumbu inilah superkonduktivitas terjadi pada saat suhu sampel disekitar suhu kritisnya. Hal lain yang menarik dari tingkah laku superkonduktor disekitar suhu kritisnya adalah adanya sifat non-ohmik, yaitu sifat yang tidak memenuhi persamaan Ohm. Persamaan Ohm menyatakan bahwa kenaikan kuat arus (i) adalah sebanding dengan kenaikan beda potensial (V). Hal ini tidak berlaku pada bahan superkonduktor pada saat suhunya disekitar suhu kritisnya. Pada suhu ini, hubungan antara kuat arus dan beda potensial untuk superkonduktor yang berupa polikristal dapat dinyatakan oleh persamaan:
V @ c ia(T)
dimana c dan a(T) adalah parameter-parameter yang bergantung pada suhu. Nilai a(T) adalah antara 1 dan 3 bergantung pada suhu sampel atau 1 ≤ a(T) ≤ 3 untuk suhu sampel antara 84 K sampai 80 K. Pada suhu 84 K nilai a(T) = 1. Jadi pada T = 84 K tingkah laku sampel memenuhi persamaan Ohm. Sedangkan untuk suhu di bawah 84 K sampai 80 K nilai a(T) bertambah besar dan mencapai nilai 3 pada suhu 80 K. Jadi tingkah laku non-ohmik ini terjadi untuk suhu 80 T < 84 K. Hal ini terjadi karena untuk sampel yang berupa keramik (polikristal) memiliki suhu transisi yang sangat lebar, sehingga meskipun suhu kritisnya 92 K, tetapi resistivitas sampel ini akan sama dengan nol (menjadi superkonduktor) baru pada suhu 80 K. Pada saat suhu sampel lebih kecil dari 80 K maka semua bahan sudah menjadi superkonduktor murni yang sangat baik dan kuat.
Jadi karakteristik inilah (yaitu resistivitas nol dan efek Meissner) yang dapat diambil mafaatnya untuk kehidupan manusia. Sebagai contoh, jika kita akan mentransmisikan energi listrik dari satu tempat ke tempat lain, seperti dari pembangkit tenaga listrik ke rumah-rumah, dengan menggunakan konduktor biasa yang resistivitasnya tidak nol, maka kita akan mengalami kerugian karena adanya energi listrik yang hilang menjadi panas pada kabel konduktor itu. Sebaliknya, jika kita menggunakan kabel superkonduktor yang resistivitasnya nol, maka kita tidak akan kehilangan energi listrik. Dengan demikian efisiensi transmisi menjadi sangat baik, dan bahkan secara teoritis dapat mencapai 100 %.


Referensi:
Adi, Wisnu Ari. 2003. Studi Karakteristik Histerisis Superkonduktor YBa2Cu3O7. Dalam jurnal Sains Materi Indonesia vol. 5 No.1 Oktober 2003 hal 55-63. ISSN : 1411-1098.
Pikatan, Sugata. 1989. Mengenal Superkonduktor. Dalam jurnal Kristal no.3/Juli/1989.
Tim Penyusun. 1997. Modul Fisika Terapan. Yogyakarta : UNY.

No comments:

Post a Comment